MENOLAK ALIRAN ISLAM NUSANTARA
Oleh : Ahmad Sastra
Akhir-akhir ini kaum akademisi muslim sedang disibukkan oleh wacana kontroversial bertajuk aliran Islam Nusantara. Banyak tokoh intelektual menyambut wacana ini dengan antusias berupa kajian dan opini publik berdasarkan tafsir subyektivisme masing-masing.
Bahkan sudah banyak tokoh menebar wacana Islam nusantara sebagai proyek intelektual.
Sebagai sekedar contoh tulisan saudara Muhammad Sulton Fatoni tentang karakteristik Islam nusantara dan kesimpulan seminar saudara Abdul Munir Mulkan yang mengangkat tokoh Soekarno sebagai representasi Islam berbudaya yang ia klaim sebagai mewakili Islam rahmatan lil’alamin.
Ada juga suara dari kalangan perguruan tinggi umum, Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang ‘menafsirkan’ Islam Nusantara dengan menolak simbol-simbol yang datang dari Arab, karena dianggap tidak sejalan dengan budaya Indonesia asli, meski Sarlito sendiri tidak mendifinisikan secara detail apa itu budaya Arab. (Koran Sindo, Minggu 21 Juni 2015).
Bahkan ada dari kalangan tokoh bergelar kyai yang menjelaskan aliran Islam nusantara seraya menyebut bahwa Islam Arab sebagai semacam penjajah yang berbeda dengan Islam nusantara.
Jika diekstrak, penulis opini di HU Republika, Jum’at 19 Juni 2015 dengan tajuk NU dan Islam Nusantara ini ingin menyampaikan pesan beberapa karakter aliran Islam Nusantara dipandang dari berbagai sudut pandang.
Pertama, sudut pandang mazhab. Islam Nusantara adalah ekspresi keagamaan berdasarkan mazhab Imam Muhammad bin Idris as Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al ‘Asy’ary dan corak tasawuf konsep Imam al Ghazaly serta Imam Abi al Hasan al Syadzili.
Kedua, sudut pandang budaya, aliran Islam Nusantara merupakan pertemuan Islam normatif dengan kondisi sosiobudaya masyarakat Jawa. Pertemuan ini tampak dari tradisi ziarah kubur, talqin mayat, sedekah untuk mayat, menyakini adanya syafaat, bermanfanfaatnya doa dan tawasul.
Tradisi keagamaan lain dari inspirasi budaya Jawa adalah mencintai keturunan Rasul, para wali dan orang-orang sholeh serta mengharap keberkahan dari mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
Dengan kata lain Islam Nusantara adalah mental dan karakter keberagamaan yang dipengaruhi struktur wilayah kepulauan.
Ketiga sudut pandang ideologis, Islam Nusantara dianggap sebagai Islam moderat yang toleran sebagai sikap menghadapi problem sosial berupa derasnya tantangan liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan radikalisme.
Padahal sebagaimana jamak diketahui bahwa aliran Islam moderat, radikal, teroris, liberal dan sejenisnya adalah aliran yang sengaja dibuat sebagai proyek Barat untuk menyerang Islam. Barat punya kepentingan ideologis yakni gerakan sekulerisasi dan polarisasi dunia Islam dibalik proyek aliran-aliran berlebel Islam.
*Islam dan Nusantara*
Agar lebih obyektif untuk bisa memaknai istilah Islam Nusantara yang istilah itu memang tidak tertera dalam sumber hukum Islam Al Qur’an dan Al Sunnah, melainkan sekedar produk pemikiran manusia, maka lebih baik disebut Islam dan Nusantara. Sebab Islam memang datang dari Allah melalui Rasulullah dan untuk seluruh alam semesta, bukan hanya Indonesia.
Hal lain juga untuk menghindari interpretasi Islam Nusantara sebagai sebuah kebenarannya. Sebab istilah ini sudah masuk ke dalam ranah kajian keagamaan Islam yang tidak boleh mengabaikan sumber-sumber otentiknya seperti al Qur’an dan As Sunnah.
Arus yang berkembang dalam upaya pemaknaan istilah Islam Nusantara menjadi dua arus utama.
Pertama, Islam Nusantara dimaknai sebagai semacam akulturasi Islam dengan budaya lokal. Islam sesungguhnya tidak pernah menentang sebuah budaya manusia selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam hanya melarang adanya mencampuraduk antara yang haq dan yang batil, juga dilarang menyembunyikan kebenaran yang datang dari Islam sebagai alternatif mengganti kebatilan yang ada, padahal kita tahu yang benar itu. (lihat QS Al Baqarah : 42).
Islam sendiri adalah kebenaran yang datang dari Allah yang maha benar, pencipta seluruh manusia dan alam semesta (QS Ali Imran : 19).
Allah bahkan menginginkan sebuah kebaikan bagi seluruh manusia di dunia (QS An Nahl : 30). Tanpa harus merujuk kepada al Qur’an sebenarnya kebaikan dan keburukan sudah bisa diterawang dengan menggunakan akal dan naluri manusia.
Hanya agar lebih tepat, karena manusia sering menggunakan nafsu, maka al Qur’an diturunkan sebagai pedoman dan pembeda antara yang benar dan salah. Manusia diberikan kebebasan untuk memilih di antara keduanya dengan konsekuensi yang harus didapatkan dari piilihannya itu.
Kedua, istilah Islam Nusantara ingin diarahkan kepada upaya menusantarakan Islam. Upaya ini selain akan menyempitkan makna Islam, juga akan mereduksi Islam sebagai petunjuk bagi manusia di muka bumi ini.
Sebab menusantarakan Islam akan berimbas kepada penolakan terhadap simbol-simbol keislaman yang tidak sesuai dengan budaya nusantara yang juga tidak begitu jelas asal muasalnya. Simbol-simbol Islam yang “dituduh” sebagai simbol Arab akan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai nusantara.
Dikhawatirkan lambat laun, aliran pemikiran ini akan berujung pada apa yang disebut gerakan sekulerisasi ala Turki oleh Kemal Attaturk yang mengubah azdan dengan bahasa Turki, Jilbab dilarang, masjid-masjid dialihfungsikan, pelarangan nama-nama bayi dengan bahasa Arab dan seluruh perilaku maksiat dibolehkan atas nama kearifan lokal.
Attaturk sang diktator ateis menganggap Islam tidak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Sebaliknya Islam dianggap kuno dan mencerminkan kemunduran budaya. Apakah ini yang akan terjadi di negeri ini ?.
Praktek ritual umroh yang terjadi beberapa waktu lalu dengan meneriakkan pancasila dan nyanyian nasionalisme adalah sebagian kecil dari efek aliran Islam nusantara ini. Mungkin praktek ritual klenik juga akan terjadi beberapa waktu ke depan atas nama kearifan lokal.
Pengakuan dan pemujaan atas dewi sri dalam ritual panen beberapa waktu lalu bahkan mulai mendapat legitimasi oleh tokoh yang dianggap agamawan.
Dengan menyebut istilah Islam dan Nusantara diharapkan bisa dipisahkan dahulu antara keduanya agar kita bisa mendefinisikan dengan tepat apa itu Islam, sumber hukumnya, visinya bagi dunia, sebab-sebab turunnya, dan sejarah penyebarannya oleh Rasulullah dan para pelanjutnya hingga sampai ke Indonesia.
Sementara nusantara sama kedudukannya dengan Jazirah Arab, Amerika, Afrika dan bahkan China sekalipun. Nusantara merujuk pada sebuah wilayah yang kini bernama Indonesia.
Prinsip Islam yang dibawa oleh Rasulullah bukan menusantarakan Islam, melainkan visi mengislamkan nusantara, mengislamkan dunia tanpa melalui paksaan. Sebab yang benar itu telah jelas dan yang tidak benar juga sudah jelas.
Islam hanya tidak memberikan toleransi terhadap setiap bentuk kejahatan, kezaliman, kerusakan dan kesewenang-wenangan terhadap sesama manusia.
Islam menginginkan sebuah keadilan sosial yang sempurna dan dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia, tanpa memandang agama, suku, warna kulit atau bahasa.
Islam bukanlah Arab, meskipun Islam pertama kali diturunkan di Arab melalui Rasulullah. Buktinya dakwah Islam yang dibawa Rasulullah justru diawali oleh penolakan dan penentangan orang-orang Arab. Sebab oleh orang Arab, Islam dianggap tidak sesuai dengan budaya dan kebiasaan jahiliyah saat itu.
Budaya dan tradisi jahilyah sebagaimana diketahui misalnya membunuh bayi perempuan, mabuk-mabukan, menikah tanpa batas jumlah, perzinahan, perjudian, klenik, syirik, paganisme, kecurangan dan bentuk-bentuk kezaliman dan ketidakadilan lainnya.
Namun lambat laun dengan kesabaran dan kesungguhan akhirnya bangsa Arab berhasil diislamkan oleh Rasulullah dengan dakwahnya.
Bangsa Arab tertarik dengan keindahan ajaran Islam yang mampu memberikan solusi bagi problem sosial saat itu dengan cara-cara yang sangat manusiawi dan penuh kasih sayang.
Jika Islam Nusantara ditafsirkan secara dangkal dan emosional dengan mengabaikan sumber hukum Al Qur’an dan As Sunnah dengan menjadikan budaya lokal sebagai tolok ukur kebenaran dan keburukan, maka istilah Islam Nusantara dikhawatirkan akan menjadi bagian dari propaganda neomodernisme alias ‘agama baru” dan “aliran baru” yang sedang disusupkan melalui para tokoh politik dan agama di Indonesia sebelum memasuki fase postmodernisme yakni menghilangkan Islam dari bumi nusantara.
*Islam Agama Dakwah*
Percepatan penyebaran agama Islam melalui dakwah, bukan senjata. Sebab Islam adalah agama dakwah yang dipelopori oleh Rasulullah SAW.
Islam berkembang cepat ke berbagai penjuru dunia dimulai sejak tahun ke 11 hijriyah. Islam berkembang dan diterima masyarakat dari Timur Tengah hingga belahan dunia Timur seperti India, hina, Asia Tenggara dan Indonesia.
Di bagian Barat, Islam diterima di wilayah Eropa hingga wilayah utara di perbatasan Rusia bagian selatan bahkan arah selatan di bunia Afrika menembus hingga ke Afrika Selatan. Kesemuanya ini berjalan selama seratus tahun sejak wafatnya Rasulullah.
Para sahabat Rasulullah SAW banyak yang meninggalkan Madinah untuk mengemban tugas dakwah Islam di luar jazirah Arab. Banyak makam para sahabat dan keluarga Rasulullah SAW berada di luar Jazirah Arab, misalnya di Kanton, China terdapat makan paman Rasulullah yang sangat dihormati.
Islam masuk nusantara pada abad ke tujuh berdasarkan teori Makkah sebagaimana diungkap oleh Buya Hamka dalam seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963.
Sedang berdirinya kesultanan Samodra Pasai pada abad ke 13 bukan bukti awal kedatangan Islam melainkan bukti perkembangan agama Islam di berbagai daerah di Nusantara.
Karena itu tidaklah perlu menghadap-hadapkan budaya Arab dengan budaya Nusantara dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah dengan sumber hukum Al Qur’an ini.
Sebab keduanya memang memiliki perbedaan yang kuat. Islam diturunkan Allah adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan serta kebahagiaan seluruh manusia dengan hukum-hukumnya yang adil dan menenteramkan.
Jika manusia, apakah orang Indonesia, Amerika, China, Rusia, Afrika, Jepang atau suku Jawa, Padang, Sunda atau Batak jika kesemuanya mau tunduk dan patuh terhadap hukum Allah, maka dijamin kebahagiaan hidup akan diraih.
Islam tidak memaksa siapapun untuk Islam ataupun tidak. Rasulullah diutus hanya untuk menyampaikan kebenaran Islam atas seluruh sistem kehidupan sebelumnya.
Islam dengan seluruh ajarannya dari doa masuk toilet hingga bagaimana mendirikan negara dilakukan dengan jalan dakwah penuh perdamaian dan kasih sayang, tidak ada paksaan.
Menolak Islam dan menerimanya itu soal pilihan. Yang agak aneh justru jika ada seorang muslim tapi menolak penerapan hukum Islam secara kaffah. Termasuk aliran islam nusantara juga menolak formalisasi syariah Islam, sebab Islam nusantara memang cenderung sekuleristik.
Dengan mengganti istilah Islam Nusantara dengan Islam dan Nusantara, selain menghindari kebingungan intelektual, pencampuradukan pemikiran dan budaya, juga agar kedua istilah ini bisa dicarikan sumber hukum masing-masing. Sebab keduanya adalah dua istilah yang berbeda.
Istilah Islam Nusantara juga bisa menyebabkan proses pendistorsian dan pendangkalan makna Islam. Tentu hal ini rawan ditunggangi kepentingan-kepentingan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, pluralisme bahkan radikalisme untuk menghilangkan jejak sejarah Islam di Nusantara.
Sebab menurut penulis, problem sosial akibat penetrasi kapitalisme dan sosialisme yang terjadi di Indonesia bukan semata-mata soal budaya, melainkan soal imperialisme politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang menjadikan negeri ini tidak memiliki kedaulatan.
Tentu tidak relevan jika dihubungkan dengan sekedar perbedaan dan penolakan budaya Arab dalam budaya Nusantara. Jauh panggang dari api, jauh masalah dari solusi.
Untuk itu menolak aliran pemikiran Islam nusantara adalah cara umat Islam menjaga kesempurnaan Islam sekaligus bentuk penolakan terhadap proyek sekulerisme sebagai bagian dari imperialisme epistemologi Barat.
AhmadSastra,13/06/18, 04.22 WIB